KUAK KATAK
DI MUSIM KERING

Pemerintah mengklaim program Food Estate demi mengatasi ancaman krisis pangan. Malah memperparah krisis Iklim.

Bagi Ardianto, 46 tahun, suara katak dulunya menjadi salah satu pertanda shahih datangnya musim hujan. Musim tanam pun tiba.

Pengetahuan seperti ini dia dapat dari sang ayah, Iber Djamal, yang juga tokoh adat di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Namun kini kondisinya berbeda. Menurut Ardianto, sekarang katak pun ramai menguak di musim kemarau. Walhasil, petani seperti dirinya bingung membaca musim.

Pergantian musim dan cuaca yang sulit diprediksi ini merupakan salah satu dampak dari krisis iklim–pemerintah Indonesia biasa menyebutnya perubahan iklim.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), perubahan iklim mengancam produksi pangan–baik pertanian maupun perikanan–di Indonesia.

Hal ini terjadi karena perubahan iklim mengakibatkan kondisi ekstrem seperti kekeringan, banjir, dan gelombang panas yang lebih sering dan parah.

Studi yang dimuat di jurnal Nature Climate Change 11 melaporkan, perubahan iklim akibat aktivitas manusia telah memperlambat produksi pertanian global sebesar 21 persen sejak 1961.

Daerah yang lebih hangat, termasuk Indonesia, mengalami dampak lebih parah. Penurunan produktivitas pertaniannya diperkirakan mencapai 30-33 persen.

012345678910JanFebMarAprMeiJunJulAgtSepOktNovDes2,04juta ton1,7juta ton9,17juta ton

Salah satu contohnya terjadi pada 2019. Data Badan Pusat Statistik mencatat, produksi padi Indonesia pada tahun tersebut turun 7,8 persen dibanding tahun sebelumnya karena cuaca ekstrem. Pada Januari dan Februari 2019, banjir melanda sejumlah wilayah sehingga sawah-sawah tergenang. Sebaliknya, kemarau panjang terjadi pada Juli-Desember.

Ancaman krisis pangan makin mencuat tatkala pada Maret 2020, Badan Pangan PBB (FAO) memperingatkan bahwa produksi dan distribusi pangan global bisa terganggu karena pembatasan pergerakan di masa pandemi Covid-19. Peringatan ini yang lantas dipakai pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memulai proyek lumbung pangan alias food estate.

Presiden Jokowi mengatakan program lumbung pangan akan dimulai dengan menanami lahan eks Proyek Lahan Gambut (PLG) di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas.

Pada September 2020, Jokowi mengumumkan rencana perluasan proyek food estate di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua.

Sebulan kemudian, atau kurang enam bulan sejak peringatan FAO, Jokowi sudah meninjau lokasi food estate di Kabupaten Pulang Pisau, kampung halaman Ardianto.

  • Sawah eksisting
  • Sawah dicetak pada 2021
  • Amdal Food Estate Cetak sawah

  • Pemerintah bak hilang ingatan akan sejarah. Program lumbung pangan Jokowi ini mengingatkan kita semua pada proyek serupa yang diprakarsai Presiden Soeharto di era Orde Baru. Pada 1995, Soeharto menetapkan keputusan untuk proyek cetak sawah sejuta hektare di lahan gambut di Kalimantan Tengah.

    © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

    Hutan rawa gambut alami–yang menjadi habitat asli orangutan dan banyak spesies endemik lainnya–lantas ditebangi untuk ditanami padi. Pemerintah juga membangun megakanal untuk mengeringkan rawa gambut. Imbasnya, selama periode kering El Nino 1997-1998, area PLG dilanda kebakaran hebat.

    Satu dekade setelah kegagalan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze memulai proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Pemerintah menetapkan pembukaan 1,2 juta hektare vegetasi alami di Kabupaten Merauke, Papua, untuk membuka jalan bagi industri pertanian dan perkebunan termasuk padi, tebu, dan kelapa sawit.

    Jika tujuannya untuk meningkatkan pasokan pangan, MIFEE sama gagalnya dengan PLG. Hanya sebagian kecil dari lahan pertanian yang direncanakan bisa terwujud. Namun, megaproyek ini malah berujung pada penerbitan konsesi perkebunan sawit besar-besaran. Proyek ini juga berimbas pada perampasan tanah adat masyarakat.

    Presiden SBY juga memulai program lumbung pangan di Delta Kahayan, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara pada 2011, dan di Ketapang, Kalimantan Barat pada 2013. Keduanya pun dianggap sia-sia. Proyek-proyek tersebut malah menurunkan ketahanan pangan karena kerusakan lingkungan akibat pembukaan hutan dan pengeringan gambut. Proyek di Ketapang pun diwarnai kasus korupsi.

    Apakah kegagalan-kegagalan itu yang hendak diulang pemerintahan Jokowi?

    Soeharto

    Soeharto

    1995

    Kalimantan Tengah
    PLG Sejuta Hektare

    Total 1.450.000 ha

    Total produksi 110.000 hektar

    SBY

    SBY

    2010

    Merauke, Papua
    MIFEE

    Total 1.200.000 ha

    Hanya 400 hektar yang berhasil bertahan

    Jokowi

    Jokowi

    2020

    Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, NTT, & Papua

    Total 2.300.000 ha

    600 Ha hutan alam di Gunung Mas, Kalimantan Tengah dibuka untuk proyek ini. Memicu pelepasan 250 ribu ton emisi karbon.

    Prabowo Subianto Luhut Binsar Panjaitan Agrinas Yayasan Pengembangan Sumber Daya Pertahanan

    Kontroversi lainnya, Presiden Jokowi menugasi dua menterinya–yang tugasnya bukan mengurusi pangan–untuk menggarap proyek food estate.

    Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ditugasi mengawal proyek food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

    Sedangkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto didapuk memimpin garapan lumbung pangan di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

    Belakangan, perusahaan yang terafiliasi dengan Prabowo, yakni PT Agro Industri Nasional alias Agrinas, ditengarai terlibat dalam proyek tersebut. Kementerian Pertahanan membantah bekerja sama dengan Agrinas. Namun, keterlibatan itu terungkap dari dokumen presentasi Agrinas kepada pemerintah Korea Selatan.

    Merujuk profil perusahaan yang didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM, saham Agrinas dimiliki oleh Yayasan Pengembangan Sumber Daya Pertahanan yang berada di bawah kendali Prabowo.

    Adapun jajaran komisaris dan direksi Agrinas diisi oleh sejumlah politikus Gerindra.

    Dari waktu ke waktu, proyek food estate dijalankan dengan mengeksploitasi hutan dan lahan gambut yang sangat luas. Prosesnya pun berjalan tak transparan dan tak melibatkan masyarakat setempat.

    Amin Arifin, 45 tahun, masih mengingat momen pembukaan lahan untuk Proyek Lahan Gambut sejuta hektare di Kalimantan Tengah pada 1996. Alat-alat berat hilir mudik di depan rumahnya. Keluarga Amir merupakan transmigran asal Jawa Timur. Sisi belakang rumah yang mereka huni masih berupa hutan lebat.

    Tak sampai sebulan, pohon-pohon besar di belakang rumahnya tumbang. Tongkang pengangkut kayu hilir mudik di Sungai Kahayan, sekitar 500 meter dari desanya. Kanal-kanal dibuat. “Tentara di mana-mana, menjaga di sana-sini,” kata Amir pada Oktober 2020.

    Kepala Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Sigho, pertama kali mendengar istilah food estate pada 2019. Kala itu, Bupati Gunung Mas Jaya S. Monong memintanya mencari lahan untuk program food estate. Sebelum Sigho melapor kembali, bupati mengumpulkan warga lagi sambil menunjukkan peta lahan yang entah dari mana asalnya. Sigho dan tokoh adat lainnya tak punya pilihan.

    Untuk proyek food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah misalnya...

    ...diduga ada 600 hektare hutan di kawasan hutan produksi yang dibabat secara ilegal. Menurut Direktur Save Our Borneo, Muhammad Habibie, belum jelas siapa yang menikmati keuntungan dari kayu-kayu hasil tebangan itu.

    Greenpeace memperkirakan akan ada 3 juta hektare hutan yang bernasib serupa jika proyek food estate dilanjutkan.

    Aspek lain yang terancam dengan adanya food estate ialah keberagaman pangan di Indonesia. Padahal, keberagaman ini pun sudah terancam dengan kebijakan pemerintah yang terdahulu.

    Warga suku Dayak Ngaju yang bermukim di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, dulu mengenal setidaknya 13 jenis benih padi lokal. Beberapa di antaranya disebut padi Nampui, Geragai, Siam, Tambangan, Benih Planduk, Badabung, dan Pahakung. Ada pula beberapa jenis pulut atau ketan.

    Bibit-bibit lokal itu diwariskan turun-temurun di setiap keluarga. Saban musim, setiap keluarga mesti menanam jenis padi utama–atau yang disebut upun benyi–agar tidak punah. Benih padi utama ini biasanya disemai persis di tengah ladang, sedangkan padi pulut atau ketan ditanam mengelilingi sisi luarnya. Sebagian peladang juga menumbuhkan jagung atau tebu di pinggir lahan.

    “Tanaman-tanaman pelindung ini untuk memancing dan menahan hama, seperti tikus atau burung, agar tidak memakan padi yang di tengah,” kata Sanyo, mantir adat Desa Kalumpang. Dulunya, tanaman pelindung itu lebih beragam lagi, seperti jewawut dan jali-jali.

    Namun sejak 2015, mereka tak bisa berladang lagi. Musababnya ialah adanya Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Aturan itu menjadi acuan untuk melarang pembukaan lahan dengan membakar–tradisi pertanian yang sudah lama dilakukan suku Dayak.

    Di Kabupaten Kapuas, pemerintah mengembangkan proyek food estate seluas 10 ribu hektare sejak 2020. Pada Agustus lalu, luas area food estate di Kalimantan Tengah–baik di Kapuas maupun Kabupaten Pulang Pisau–disebut telah mencapai lebih dari 72 ribu hektare.

    Itu sebabnya, bersama sejumlah warga Desa Kalumpang, Sanyo menolak proyek lumbung pangan. Pemuka adat Dayak ini berpendapat bahwa cara mereka jauh lebih bijak ketimbang membuka hutan menjadi hamparan sawah.

    Suku Dayak punya metode sendiri untuk bercocok-tanam dengan cara berladang–atau yang disebut malan. Prosesnya pun tak serampangan. Mereka mengikuti aturan adat, termasuk membuat sekat untuk memastikan kebakaran tak menjalar melebihi luas ladang yang hendak dibuka. Penelitian menyebut, tradisi membakar lahan yang dilakukan suku Dayak justru bisa menyuburkan tanah Kalimantan yang kurang hara.

    “Seumur-umur baru kali ini saya menanam padi di tanah sawah,” kata Emek, 66 tahun, anggota Kelompok Tani Parit Pemerintah yang masuk dalam program strategis nasional food estate, pada November 2022.

    Saat itu, Emek mengaku gelisah karena harus menanam benih padi yang ia tak tahu muasalnya. Dia juga menilai hasil panen lahan food estate tak bisa diprediksi. “Namanya juga coba-coba.”

    Selain padi, orang Dayak di Kalimantan Tengah menanam beraneka umbi dan sayuran seperti terong, labu putih, timun suri, sayur katu, ubi-ubian, hingga bawang Dayak (Eleutherine bulbosa). Mereka juga membuat kolam beje di area ladang yang berdekatan dengan sungai. Ini adalah kolam alami yang akan terisi air dari luapan sungai saat pasang. Saat air sudah surut, warga bisa memanen ikan-ikan yang terjebak di kolam tersebut.

    Berkebalikan dengan keberagaman dari kearifan lokal itu, proyek food estate pemerintah justru bakal menyeragamkan produk pangan. Di Kalimantan Tengah, lahan food estate garapan Kementerian Pertahanan itu ditanami singkong–yang terbukti gagal.

    Ketiadaan semangat mau mendengar dan belajar, akhirnya program-program strategis nasional itu pun berujung kegagalan. Menurut saya sudah dari jauh hari tidak kurang suara akademisi, petani dan masyarakat luas menyampaikan pendapat tentang risiko Food Estate yang akan menuai kegagalan. Prinsip-prinsip perencanaan dan pelaksanaan Food Estate tampaknya sengaja mengabaikan sudut pandang akademik.

    Yanedi Jagau, Direktur Borneo Institute

    MASA DEPAN
    FOOD ESTATE

    Pemerintahan Jokowi juga berencana melanjutkan proyek MIFEE di Papua Selatan–sebelumnya termasuk Provinsi Papua– yang sudah dimulai SBY pada 2010.

    Proyek food estate di Merauke akan dibangun di atas lahan seluas 3,1 juta hektar, mencakup:

  • Hutan Lindung (HL)
  • Hutan Produksi (HP)
  • Hutan Produksi Tetap (HPT)
  • Hutan Produksi Konversi (HPK)
  • Areal Penggunaan Lain (APL)

  • Kementerian Pertahanan memilih dua lokasi di Merauke untuk rencana lumbung pangan seluas 179.211 hektare. Ini mencakup perkebunan dan infrastruktur pendukung, termasuk helipad dan pelabuhan di Sungai Maro.

    Area seluas 70 ribu hektare yang terletak di Kecamatan Ilyawab dan Tubang di sebelah barat bakal ditanami padi...

    ...sedangkan 109.211 hektare di Jagebob akan ditanami singkong.

    Selain Merauke, tiga kabupaten lain yang masuk daerah otonomi baru Provinsi Papua Selatan juga menjadi sasaran. Yakni Kabupaten Mappi, Asmat, dan Boven Digoel.

    Berkaca dari sejarah, proyek lumbung pangan di Papua hanya akan menguntungkan investor swasta. Peningkatan produksi pangan yang dijanjikan tak terjadi. Masyarakat adat justru kehilangan akses akan tanah dan hutan adat, yang berarti hilang pula akses terhadap sumber pangan mereka.

    Ekspansi food estate dalam skala besar terbukti gagal, baik untuk meningkatkan ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat pedesaan. Maka dari itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan alternatif menyangkut sistem pangan.

    Prinsip paling penting dalam penyediaan pangan ialah mengembalikannya kepada masyarakat adat dan komunitas lokal. Praktik pertanian tradisional mereka sejak lama–yang menganut prinsip wanatani atau agroforestry–telah terbukti menghidupi; mencukupi kebutuhan pangan tanpa merusak lingkungan.

    Agroforestry dapat diartikan sebagai kombinasi antara pertanian dan kehutanan. Pendekatan tradisional seperti ini telah digunakan di seluruh Indonesia selama ribuan tahun. Sebutan di setiap daerah berbeda-beda. Misalnya parak di Sumatera Barat; pelak di Jambi; tembawang di Kalimantan Barat; talun dan dudukuhan di Jawa Barat; tenganan di Bali; amarasi di Nusa Tenggara Timur; dan lainnya.

    Sistem monokultur seperti food estate ini tak hanya gagal, tetapi juga meminggirkan kearifan dan pengetahuan masyarakat lokal. Ada cara yang lebih baik dengan pertanian ekologis dan agroforestri tradisional, sehingga kita mempunyai solusi untuk krisis pangan sekaligus krisis iklim

    Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia
    			Baca lebih lanjut dengan mengunduh laporan
    "Pemerintah Indonesia Hanya Memberi Makan Krisis Iklim Lewat Food Estate"